PROSES BELAJAR ITU BERTAHAP
Universitas 17 Agustus 1945, Fakultas Psikologi, Prodi Psikologi
Senin, 17 maret 2025 jam 14.00 di kelas Psikologi Belajar yang diampu oleh dosen Iin Andriani S.Psi., M.Psi., Psikolog, saya belajar tentang Teori Koneksinisme nya Edward Lee Thorndike. Thorndike sebenarnya bukanlah orang psikologi, tetapi ketika dia kuliah S3 dan disertasinya adalah tentang psikologi, dari situlah mulai awal dia masuk ke dunia psikologi. Disertasi nya adalah tentang "Animal Inteligen", dia mempelajari bagaimana hewan itu belajar. Thorndike meneliti ayam, kucing, tikus, anjing, ikan, dan kera, dan ide dasar risetnya ini hampir mendasari semua teori tentang belajar. Jadi bisa dikatakan Thorndike ini adalah Bapak Psikologi Belajar.
Selain Thorndike, yang mengembangkan Teori Pembelajaran Instrumental dan Hukum Efek B.F. Skinner, tokoh penting lainnya yang yang mengembangkan teri-teori tentang pembelajaran adalah Ivan Pavlov dan B.F. Skinner. Dimana Pavlov dikenal dengan Teori Pengondisian Klasik dengan eksperimen anjing sementara Skinner menyempurnakan tentang Teori Pengondisian Operan serta memperkenalkan kotak Skinner.
Teori Koneksionisme Thorndike yang dikenal dengan sebagai teori "Trial and Error" yaitu pembelajaran terjadi melalui pembentukan koneksi (hubungan) antara stimulus dan respon yang diperkuat oleh konsekuensi yang memuaskan. Dalam penelitiannya, dia memasukkan seekor kucing yang sedang kelaparan ke dalam kandang yang ada tuasnya dan makanan ditaruh di luar kandang. Tuas berfungsi untuk membuka pintu kandang apabila ditarik kebawah, kucing akan berusaha dan belajar untuk menarik tuas agar pintu kandang bisa terbuka dan kucing bisa mendapatkan makanan. Dari penelitiannya ini, Thorndike menemukan bahwa bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial and error (belajar dengan uji coba). Jadi semua proses belajar itu adala step by step, tidak lompat-lompat dan instan atau disebut dengan Selecting and Connecting (pemilihan dan pengaitan).
Semua hewan yang diteliti oleh Thorndike ini melakukan semua usaha yang diperlukan untuk bisa keluar dari kotak, para hewan ini melakukan percobaan apapun untuk bisa keluar dari kandang, dan upaya percobaan itu akan berhenti saat hewan mendapatkan solusi yang benar. Jadi ketika hewan sudah bisa menarik tuas, dari situ hewan belajar bahwa dengan manarik tuas, pintu kandang akan terbuka. Semakin banyak kesempatan berusaha yang dilakukan oleh hewan maka semakin cepat masalah akan bisa diselesaikan karena lebih banyak mencoba dan disitulah letak proses belajar.
Dalam proses belajar Thorndike, ada juga yang dinamakan Incremental (bertahap), yaitu belajar bisa didapatkan dan dimengerti secara step by step yang menunjukkan pentingnya langkah-langkah kecil dalam memperdalam pemahaman bukan Insightful (langsung ke pengertian). Belajar dilakukakan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengetian yang mendalam.
Percobaan pada kucing dan monyet adalah naluriah, tidak memikirkan dan tidak memerlukan analisa, karena belajar tidak dimediasi oleh ide. Monyet dan kucing yang berada di dalam kandang tidak memikirkan dan mempertimbangkan bahwa dengan menarik tuas maka pintu kandang akan terbuka. Prinsip Parsimoni Thorndike tidak menitik beratkan nalar dalam belajar dan dia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar. Nantinya ini akan menjadi ide dalam behavioristik. Karena dalam behavioristik tidak memasukkan unsur kognitif, yang ada dalam behavioristik ini hanyalah stimulus-respon. Kucing dalam percobaan puzzle box Thorndike, tidak memikirkan strategi terlebih dahulu, melainkan mencoba berbagai gerakan sampai menemukan cara keluar dari kotak.
Thorndike merevisi teorinya dari sebelum tahun 1930 sampai tahun 1930. Teori Thorndike ada 3 yaitu, Hukum Kesiapan, Hukum Latihan, dan Hukum Efek. Pada masa sebelum tahun 1930, dalam hukum kesiapan ketika seseorang sudah siap melakukan tindakan, maka melakukannya akan memuaskan. Contoh: ketika ada anak yang sudah siap untuk belajar calistung kemudian langsung diajari, maka efek buat anak tadi adalah menyenangkan, karena anak tersebut sudah siap dan berminat untu belajar calistung.
Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, maka tidak melakukannya akan menjengkelkan. Contoh: ketika ada seorang atlit yang sudah siap fisik, mental, dan pikiran untuk bertanding di tanggal yang sudah ditentukan, tetapi ternyata di tanggal yang sudah ditentukan itu dia batal untuk bertanding. Maka efek yang yang timbul adalah jengkel, kesal, dan marah karena gagal untuk bertanding di hari yang sudah ditentukan.
Ketika seseorang belum siap melakukan suatu tindakan tapi dipaksa melakukannya, maka melakukannya akan menjengkelkan. Contoh: seseorang mahasiswa yang belum siap untuk ujian tapi dipaksa untuk ujian secara mendadak. Maka efek yang muncul adalah jengkel, stress, dan frustasi yang diikuti dengan tubuh yang berkeringat dan gemetar karena dia belum siap untuk ujian.
Kalau pada hewan, keadaan memuaskan berarti hewan tidak melakukan apapun untuk menghindarinya. Sering mendapatkan sesuatu untuk mendapatkan keadaan itu dan mempertahankannya. Keadaan tak nyaman atau menjengkelkan adalah keadaan yang umumnya dijauhi atau dihindari oleh binatang.
Hukum Latihan Law of Use adalah koneksi antara stimulus dan respon akan menguat saat keduanya terus menerus dipakai. Melatih koneksi antara situasi yang menstimulasi dengan suatu respon akan memperkuat koneksi diantara keduanya. Jadi semakin sering dipasangkan dan semakin sering dilakukan makan akan semakin kuat koneksinya. Sedangkan Law of Disuse adalah koneksi antara situasi dan respon akan melemah apabila praktik hubungan dihentikan atau jika ikatan netral tidak dipakai. Jadi menurut hukum latihan ini, kita itu belajar karena kita melakukan, kalau kita tidak melakukannya lagi makan kita akan lupa. Kemudian oleh Thorndike, hukum latihan ini direvisi.
Hukum Efek keadaan yang memuaskan yaitu jika suatu respon diikuti oleh Satisfaying State of Affairs (keadaan yang memuaskan) maka kekuatan koneksi akan bertambah, sebaliknya dalam keadaan yang menjengkelkan yaitu jika suatu respon diikuti oleh Annoying State of Affairs (keadaan yang menjengkelkan) maka kekuatan koneksi akan menurun. Contoh: ketika anak batita yang baru belajar berbicara dan berhasil mengucapkan kata mama untuk pertama kalinya dan diikuti oleh orang-orang disekitarnya yang gembira dan bahagia dengan respon berteriak, memeluk, atau bertepuk tangan maka respon menyenangkan itu akan membuat anak batita tadi akan terus mengulang kata mama tadi. Sebaliknya ketika anak batita tadi ketika pertama kali mengucapkan kata mama tapi tidak ada respon dari orang sekitarnya, bisa jadi itu tidak akan lagi diulanginya.
Thorndike pada September 1930 melakukan semacam konferensi pers yang menjelaskan bahwa dia merevisi teori yang dia buat. Revisi Hukum Latihan menyatakan bahwa latihan praktis akan menghasilkan kemajuan kecil, kurangnya latihan akan meningkatkan lupa. Jadi ketika kita memanggil lagi memori kita, maka kita akan bisa kembali mengingat. Otak kita menyimpan memori kerja, jadi ketika tidak melakukan lagi suatu kebiasaan tidak akan menghilangkan apa yang sudah pernah kita pelajari.
Pada Revisi Hukum Efek, penguatan akan meningkatkan koneksi namun hukuman tidak melemahkan. Jadi proses hukuman atau proses yang tidak menyenangkan tidak selalu menghilangkan kekuatan koneksi. Contoh: ada anak yang ketika di kelas pada saat guru menjelaskan tentang pelajaran dia suka ngomong sendiri dan berbicara dengan intonasi suara yang tinggi, guru otomatis akan langsung menegur dan memarahi si anak, tentunya ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan untuk si anak. Tetapi apakah dengan ditegur dan dimarahi akan membuat si anak menghilangkan kebiasaan jeleknya itu? Tidak, dia akan kembali mengulangi perbuatannya itu di kelas lain dengan guru yang lain. Jadi revisi hukum efek ini adalah tidak semua keadaan yang menjengkelkan itu menimbulkan respon yang melemahkan, hukuman tidak melemahkan sebuah perilaku, dan hukuman tidak selalu membuat jera.
Belongingness merujuk pada kecenderungan bahwa koneksi stimulus-respon akan terbentuk lebih mudah jika stimulus dan respon memiliki hubungan yang masuk akal atau wajar secara alamiah. Misalnya pada teori Skinner yang memasangkan makanan dengan air liur yang alami, maka proses belajarnya akan cepat. Tapi kalau cuma dipasangkan bel dan air liur proses belajar akan lama, karena secara alami bel itu tidak mengeluarkan air liur.
Menurut prinsip Belongingness, tidak semua tidak semua koneksi S-R (stimulus-respon) dapat dibentuk dengan mudah meskipun diberikan penguatan. Koneksi akan lebih mudah terbentuk ketika elemen-elemennya terasa saling berhubungan atau terasa alamiah. Contoh: Ada siswa kelas 4 SD yang lagi belajar matematika, ketika diajarkan dengan metode soal cerita (ibu membeli jeruk dengan harga Rp15.000 satu kg nya, jika ibu membeli 3 kg jeruk, berapa uang yang harus diberikan ibu kepada penjual?) maka akan lebih cepat mengerti dan paham dibandingkan diajari dengan rumus-rumus yang membingungkan.
Penyebaran Spread of Effect adalah penguatan (reinforcement) tidak hanya mempengaruhi koneksi stimulus-respon yang langsung menghasilkan penguatan tersebut, tetapi juga menyebar ke koneksi-koneksi yang berdekatan atau terjadi pada waktu yang hampir bersamaan dan menghilang jika jaraknya semakin menjauh. Contoh: ketika anak yang baru masuk SD lagi belajar membaca dan suku katanya adalah "mama" dan berhasil membaca kata mama tersebut, kemudian diikuti dengan respon pujian dari gurunya. Maka akan ada kemungkinan anak akan bisa membaca kata mumu, mimi, momo, dan kata-kata lain dengan suku kata yang serupa. Tetapi ketika anak tersebut baru berhasil membaca kata mama kemudian oleh gurunya disuruh membaca kata "bergembira", maka anak tidak akan bisa membaca kata bergembira itu, karena jarak suku katanya sudah terlalu jauh. Jadi jika tidak ada tambahan latihan, tidak ada tambahan penguatan kemudian tiba-tiba dinaikkan levelnya makan bisa jadi efeknya akan hilang.
Jadi perbedaan antara teori Thorndike, Pavlov, dan Skinner adalah kalau Thorndike fokusnya adalah proses belajar. Sebelum stimulus dan respon itu berhasil, bagian tengahnya itu ada law of effect, law of exercise, trial and error, dll. Sedangkan Pavlov teorinya adalah Classical Conditioning, yaitu stimulus-respon, stimulus ditambah netral jadi respon. Lalu Skinner lebih kepada Classical Operan, yaitu stimulus-respon apabila tidak dikuatkan makan tidak akan bertahan. Hukuman, reward dan reinforcement ada di teori Skinner ini.
Review Jurnal Implikasi Teori Belajar Behavioristik Thorndike dalam Pembelajaran PAI
Judul : Implikasi Teori Belajar Behavioristik Thorndike dalam Pembelajaran PAI
Penulis : Muhammad Abduh, Kurnia Oktaria, Ermis Suryana, Abdurrahmansyah
Institusi : Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Jurnal ini membahas bagaimana teori belajar Thorndike khususnya teori koneksionisme dapat diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Thorndike menjelaskan bahwa belajar terjadi melalui hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Proses belajar dimulai dengan mencoba dan melakukan kesalahan, yang kemudian diikuti dengan perbaikan. Dia juga mengemukakan tiga hukum utama dalam belajar yaitu: hukum kesiapan, dimana siswa lebih mudah belajar jika mereka sudah siap secara mental dan fisik. Kedua hukum latihan dimana siswa yang semakin sering latihan maka akan semakin baik pemahamannya dan ketiga adalah hukum akibat yaitu siswa cenderung mengulangi perilaku yang mendapatkan hasil positif. Dalam pembelajaran PAI, teori ini diterapkan melalui latihan berulang, pemberian penghargaan kepada siswa yang berusaha, dan membiarkan mereka belajar dari kesalahan.
Komentar
Posting Komentar